Oleh: Apriyanto Adam, S.Pd.
(Korban penarikan motor tanpa prosedur hukum)
Saya tidak sedang mencari belas kasihan—saya hanya menuntut keadilan. Beberapa bulan lalu, sepeda motor saya ditarik paksa oleh pihak leasing. Tanpa surat pengadilan. Tanpa pemberitahuan resmi. Tanpa didampingi aparat yang berwenang. Saya yang saat itu sedang berkonsultasi pada leasing bersangkutan, hanya bisa menyaksikan motor saya di amankan begitu saja, seolah-olah bukan milik saya.
Saya tahu saya sedang menunggak beberapa bulan cicilan. Tapi saya juga tahu bahwa negara ini punya hukum. Penarikan objek fidusia, seperti sepeda motor yang masih dalam masa cicilan, tidak bisa dilakukan secara sepihak. Putusan Mahkamah Konstitusi (Putusan MK No. 18/PUU-XVII/2019) telah menegaskan bahwa kreditur tidak bisa serta-merta mengeksekusi jaminan fidusia tanpa persetujuan atau penetapan dari pengadilan, kecuali debitur menyerahkan secara sukarela.
Masalahnya, saya tidak pernah diminta menyerahkan secara sukarela. Tak ada surat panggilan. Tak ada komunikasi resmi. Yang ada hanya tiga orang tak dikenal datang ingin membawa motor saya dan menyodorkan selembar surat dari leasing yang bahkan tidak sah secara hukum.
Ini bukan hanya masalah sepeda motor—ini masalah martabat dan rasa aman sebagai warga negara. Kalau kendaraan bisa dirampas tanpa proses hukum, apa jaminannya rumah kita besok tidak mengalami hal yang sama?
Yang lebih menyakitkan, setelah kejadian itu saya mencari keadilan. Saya lapor ke pihak kepolisian, tapi tanggapannya dingin. Saya menghubungi leasing, dan mereka justru menantang: “Silakan tempuh jalur hukum.”
Jadi saya bertanya: Di mana hukum berpijak? Apakah negara ini hanya tajam ke rakyat kecil tapi tumpul pada korporasi besar?
Saya menulis ini bukan semata untuk diri saya. Di luar sana, banyak masyarakat kecil menjadi korban praktik seperti ini. Kita diam, karena takut, karena tidak tahu harus mengadu ke siapa. Tapi diam berarti membiarkan ketidakadilan tumbuh subur.
Sudah saatnya kita bersuara. Agar hukum benar-benar menjadi pelindung, bukan hanya hiasan dalam teks peraturan.
Gambar Kenderaan di atas hanya sebagai pemanis ibaratnya mendengar tajamnya hukum yang tertulis namun bukan yang terjadi.